Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar 
menggelar aksi bersama tentang pengendalian pemanfaatan biota perairan 
yang dilindungi dan terancam punah di sejumlah pasar di kota Manado, 
pada minggu kemarin. Kepada masyarakat, mereka menyampaikan jenis-jenis 
ikan dilindungi yang tak boleh ditangkap maupun diperdagangkan.
Berbagai instansi pemerintah provinsi maupun kota, serta lembaga 
swadaya masyarakat terlibat dalam kegiatan ini. Di sejumlah pasar, 
mereka membagikan stiker, menempelkan poster di dinding pasar serta 
membentangkan spanduk larangan pemanfaatan jenis ikan dilindungi.
Dalam sebuah spanduk yang dibentangkan, terdapat larangan 
memanfaatkan telur penyu, daging, cangkang ataupun produk turunannya. 
Jika melihat pemanfaatan penyu, masyarakat dihimbau untuk segera melapor
 dengan cara menghubungi nomor telepon yang tertera dalam spanduk.
“Berdasarkan UU No.31/2004 jo UU No.45/2009 (pasal 100, 100 B), 
pelanggaran terhadap pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi oleh negara,
 dapat dipidana paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 
250.000.000 (dua ratus lima puluh juta),” demikian tertulis dalam 
spanduk tersebut.
Sementara, dalam poster yang ditempel di sejumlah pasar, terdapat 
gambar 12 jenis ikan yang dilindungi dan tidak boleh diperdagangkan. 12 
jenis ikan itu terdiri dari, penyu, napoleon, hiu martil, hiu koboi, 
bambu laut, pari manta, hiu paus, kuda laut, banggai cardinal fish, 
kima, lola dan duyung.
Asriadi, Koordinator Satker Manado-BPSPL Makassar, mengatakan, aksi 
bersama ini merupakan upaya menjelaskan peraturan perlindungan sejumlah 
jenis ikan kepada masyarakat, serta larangan memperdagangkannya. Ia 
menduga, masih berlangsungnya penangkapan dan perdagangan ikan 
dilindungi didasari ketidaktahuan hukum dan alasan ekonomi.
“Aksi bersama ini penting. Karena alasan yang dikemukakan pedagang 
jenis ikan yang dilindungi adalah ketidaktahuan mengenai regulasi maupun
 larangannya,” ujar Asriadi kepada Mongabay.
Ia berharap, kedepannya lahir sebuah forum atau jejaring koordinasi 
terkait pemanfaatan jenis ikan dilindungi maupun terancam punah di 
Sulawesi Utara. Forum itu, tambah Asriadi, juga bisa jadi ruang untuk 
memberi solusi konservasi jenis ikan yang dilindungi.
“Semoga, kedepan, pemanfaatan jenis ikan dilindungi dan terancam 
punah yang tidak sesuai dengan peraturan, bisa dicegah,” demikian 
Asriadi berharap.
Ancaman terhadap ikan napoleon di berbagai tempat, membuat ia 
dimasukkan dalam daftar CITES appendix II. Artinya, perdagangan ikan 
jenis ini harus dikontrol untuk menghindari kepunahannya. Oleh 
pemerintah Indonesia, perlindungan ikan napoleon diatur dalam Keputusan 
Menteri Kelautan dan Perikanan No.37/2013 tentang Penetapan Status 
Perlindungan Terbatas Ikan Napoleon.
Dalam Kepmen tersebut diatur larangan pemanfaatan ikan napoleon pada 
ukuran 100-1000 gram dan ukuran di atas 3000 gram. Pengecualian terhadap
 perlindungan terbatas tadi, seperti ditulis dalam Kepmen tersebut, 
diperbolehkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan.
Selain perlindungan terbatas terhadap ikan napoleon, di Indonesia 
terdapat sejumlah peraturan hukum yang melarang pemanfaatan jenis ikan 
tertentu. Beberapa di antaranya, sebut saja, Kepmen KP No.18/2013 
tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus, Kepmen KP 
No.4/2014 tetang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta, 
serta PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Sumber : mongabay 
Coral reefs are sprawling, intricate ecosystems that house an estimated 25 percent of all marine life and can sometimes be seen from space. Yet they are formed by a process invisible to us.
A study published in Science
 on Wednesday now presents a microscopic picture of the biology that 
makes corals’ skeletons grow. The findings suggest that coral may be 
more robust in the face of human-driven ocean acidification than commonly thought.
Corals
 grow their armor by diligently secreting a chunk of hard skeleton 
smaller than the width of a human hair each day. This process is called 
calcification and scientists have debated which parts of it are most 
important for decades.
One view prioritizes chemical interactions with the seawater. Using ion pumps,
 corals can possibly decrease the acidity of seawater enough that 
calcium carbonate — the stuff of limestone and chalk and the basis of 
coral skeletons — forms spontaneously. Under these circumstances, if 
oceans become more acidic — a potential consequence of human-emitted carbon dioxide in the atmosphere being absorbed by the seas — coral may struggle to form a skeleton.
 
 
 
 
 
 
